Wednesday, November 16, 2011

Kejutan, Miyong Punya Uyeng-uyeng!

Ini namanya kejutan banget, surprise, nggak terduga, kayak nemu harta karun, keajaiban alam, atau apa lah namanya. Tadi sore pulang gawe, pas saya lagi asik-asik main ama Miyong di ruang tamu, lagi kudhang-kudhangan, kitik-kitikin, tujep-tujepan jari sama Miyong, tau-tau bluk, Miyong mlumah terjatuh dan terlihatlah keajaiban itu!

Di dadanya Miyong ada uyeng-uyengnya! Uyeng-uyeng (pusaran rambut) itu tepatnya berada di tulang dadanya yang membusung kalo kucing lagi duduk, kira-kira 5 cm di bawah leher. Sebelumnya saya udah ngeliat barang itu, tapi selama ini saya kira cuma bulu mbrodol. Baru sore ini saya menyimak kalau itu ternyata uyeng-uyeng. Lucu, unik, aneh, baru kali ini saya ngelihat kucing punya uyeng-uyeng. Tadinya mau saya potret trus saya aplod ke blog, tapi si Miyong lagi hiper banget nih, dipegang aja susah. Ngajak berantem terus ama tangan saya. Huff.

Wah kucing ajaib. Pertanda apa ya, dapat kucing beruyeng-uyeng? Duh Miyong, memang kamu kucing yang paling pinter nyenengin majikanmu. Eh salah ding, menurut Miyong, dia lah majikannya. Saya sekeluarga-serumah-sepekarangan ini punyanya dia, warisan dari papah Machan III. Dasar.


Thursday, November 10, 2011

Puber

Manusia atau hewan ternyata sama saja, dalam hal yang satu ini: puber. Yang lagi puber biasanya lebih periang, tidak tenang, tidak biasa, dan over acting. Miyong juga begitu. Begitu saya sadar kalau dia lagi puber, saya cuma bisa pasrah. Duh, bentar lagi kucing gue bunting nih.

Malam ini saya menyaksikan sendiri tingkah Miyong yang over acting ala mahluk puber. Biasanya dia selalu takut keluar rumah, apalagi malam-malam. Nah, barusan tadi, sehabis makan malam, begitu saya bukakan pintu depan seperti rutinnya habis makan, Miyong langsung melesat ngacir. Kirain dia udah kebelet, ternyata dia cuma pingin lari secepat kilat sampai ujung halaman, habis itu balik lagi ke depan pintu. Dia celingak-celinguk kayak mencari sesuatu di sekitar. Akhirnya saya tinggal ke dalam, ngapain juga saya nungguin kucing puppis.

Sejam kemudian saya berencana memanggil Miyong masuk. Nah lo, saya memergoki Miyong lagi omong-omongan sama kucing hitam keling yang itu lagi. Belakangan saya tahu, kata Miyong namanya Roma, guru musik dan olah raga. Hmm... belakangan hari tante saya sering dipamitin Miyong sore-sore, katanya les piano. Katanya si Roma itu sambil ngajarin piano sambil nyanyi "pii-aa-noo..., mari main, pi-aa-noo". Miyong! Itu mah Rhoma Irama sama Yati Octavia!

Oh ya, kembali lagi. Jadi mereka waktu itu kepergok lagi ngobrol, bunyinya sih uung...eeng.. lirih, pelan gitu. Hanya mereka yang tahu apa artinya. Sekali lagi saya sibuk nyari apa aja yang keras di sekeliling. Dapet deh batu sedang buat nyambit si Roma. Pluk. Nggak kena, tapi berhasil membuat dia kabur. Ealah, begitu Roma hilang dari pekarangan, si Miyong kelihatan bingung, mukanya menoleh kesana kemari mencari-cari. Mungkin merasa kalau Roma masih ada di sekitar, Miyong berinisiatif untuk tampil atraktif. Dia lompat dari balik tanaman hias dan lari sekencang-kencangnya menuju pohon palem-paleman untuk memanjat pohon itu. Lalu ia turun lagi dengan lincahnya, lari ke pohon kamboja, memanjat lagi sebentar, turun, lari bolak-balik di pekarangan, naik bangku, turun bangku, dan akhirnya berhenti walau matanya masih tetap berputar-putar mencari si Roma. Akhirnya saya angkut Miyong masuk. Bukan main, dia lari ke jendela, ke balik korden, berusaha mencari pandangan keluar. Ck-ck-ck, saya nggak salah kan mengira dia lagi puber?

Sekarang sih Miyong sudah mau tidur. Tapi dari suaranya dia lagi main gelut-gelutan dengan tangan ibu saya. Habis dia nggak punya teman sebaya sih, jadinya ya tangan orang serumah ini yang pura-pura jadi lawannya. Enak juga lama-lama, sensasi digigit-gigit gigi-gigi kecilnya yang masih tajam itu. Dasar Miyong, ternyata kamu cuma bocah yang lagi puber.

Wednesday, November 9, 2011

Miyong Genit

Saya nggak tahu kapan tepatnya Miyong lahir. Waktu istri terakhir dari Machan III mulai panik nyari tempat lahiran, itu sekitar bulan september (atau Agustus ya?). Daripada pusing-pusing saya putuskan saja 17 Agustus 2011 sebagai hari lahirnya Miyong. Itu berarti, sekarang Miyong sudah hampir 3 bulan. Saya baca di internet (sekali lagi sumber saya internet) katanya anak kucing menjadi remaja pada usia 3 bulan, dan dapat hamil pada usia 6 bulan. Waduh! Emang iya juga sih, kalau manusia pun, usia remaja lebih sedikit juga bisa hamil akibat pergaulan bebas atau kawin muda. Apalagi Miyong. Apalagi sekarang sudah ada seekor kucing jantan hitam keling yang rutin ngider-ngiderin rumah saya. Bahkan, beberapa malam yang lalu si hitam garong itu bisa-bisanya ngeong-ngeong di depan pintu rumah, kayak manusia namu aja. Langsung aja saya siram pake air segayung. Di lain waktu si hitam ini datang lagi ngapel pas Miyong lagi jadwalnya main di luar. Oh ya, Miyong yang pomah ini harus disuruh keluar pada jam-jam tertentu untuk iyek. Kalau tidak, dia suka iyek di pojok dapur belakang, di balik rak panci-wajan. Nah, pas Miyong habis iyek barangkali, trus lagi asik-asiknya ngebersihin muka, tahu-tahu si hitam oom-oom itu sudah nongkrong di depan Miyong. Mereka berdua saya pergokin lagi pandang-pandangan. Menyebalkan! Saya nggak rela kucing saya yang masih kecil diper----! Akhirnya saya timpuk deh si hitam itu pakai sendal tante yang super keras, eh nggak kena. Saya uber lagi, kali ini saya sambit pake batu. Duk! Kayaknya kena. Saya ulangi lagi. Kena bokongnya. Rasain lu! Kata saya sendirian. Balik kepada Miyong, ya ampyuuun, Miyong! Apa yang dia lakukan? Miyong lagi mengendus-ngendus bekas si hitam tadi duduk. Dasar kucing genit! Kecil-kecil minta digodain. Waduh, sepertinya saya harus mulai cari info tentang KB kucing nih. Juga kunjungan ke dokter hewan. Tidaaak! Apa saya belikan obat KB orang aja ya? Menurut (lagi-lagi) internet, bisa aja, asal dosisnya dikurangi. Huh, nanti dikira buat saya lagi. Memang repot punya kucing betina. Mungkin begitu juga kali ya, perasaan orang tua yang punya anak gadis.



Sunday, November 6, 2011

Siapa Machan?

Machan alias Macan (=tiger) ialah nama kebesaran setiap kucing dalam keluarga ini, dari Machan I sampai sekarang, Machan IV. Setiap Machan bisa dipanggil Machan atau dengan nama panggilannya sendiri tanpa menghilangkan nama kebesarannya. Berikut sepenggal kisah para Machan.

Sudah 4 kucing terakhir saya beri nama Machan. Entah bagaimana, setelah Machan yang pertama pergi begitu saja tanpa jejak, sulit menemukan nama lain yang lebih imut daripada Machan untuk kucing saya berikutnya. Machan dipilih karena mirip kata macan, dan lagian kucing memang satu kelas dengan macan. Lalu bunyi -chan pada Machan, seperti sebutan chan di belakang nama anak-anak Jepang. Lucu. Machan, ya macan, ya anak-anak. Macan kecil, itulah Machan. Mungkin seperti itulah rasionalisasinya.

Machan I adalah Machan jantan dengan bulu loreng kuning keemasan. Sayang, saya samasekali tidak punya fotonya karena pada tahun itu HP berkamera masih mahal, dan di keluarga tidak ada yang punya. Machan I ini lahir 4 bersaudara dari kucing betina malang bernama Mima. Mima dibiarkan melahirkan di gudang rumah dan lahirlah Machan dan saudara-saudaranya. Machan pertama ini seingat saya paling ganteng dan berat. Kalau digendong mantap lah beratnya. Tapi sayang, ia harus sakit dan sayangnya ia tidak mau minum obat sedikitpun, malah cenderung senang menyendiri, sampai akhirnya hilang tak kembali.

Machan II adalah anak generasi ke 2 dari Mima yang lahir di gudang. Mima melahirkan anak jantan yang persis sama dengan Machan I. Ow betapa senangnya hati saya. Mirip plek. Jantan, loreng, emas, Machan! Namun sayang, belum genap setahun umurnya, Machan II harus hilang justru di hari istimewa, hari raya kurban. Waktu itu saya memaknai kepergiannya sebagai keikhlasan untuk kehilangan sesuatu yang sangat kita sayangi. Huhuhu.

Nah, Machan III, adalah Machan yang paling lama saya pelihara. Empat setengah tahun. Ia adalah keponakan dari Machan I, anak dari salah satu saudaranya yang bernama Nala. Saya punya terlalu banyak cerita dengan Machan III ini. Terlalu banyak. Tapi tidak sanggup saya ceritakan karena...

Seperti para pendahulunya, Machan III juga pergi tanpa jejak. Mukso. Hilang begitu saja, padahal terakhir kelihatan dalam keadaan sehat wal afiat. Kehilangan Machan III merupakan kehilangan yang paling memukul buat saya. Apa sebab? Karena dia sudah bertahan selama 4,5 tahun. Selama itu telah membuat saya terlalu terbiasa dengan keberadaannya.

Di tengah kedukaan saya ditinggal pergi Machan III, saya mendengar suara gedebugan dan oeng-oeng anak kucing di genteng. Dua hari kemudian, muncul dua anak kucing usia 1 bulanan, jadi sudah bukan bayi lagi. Yang satu jantan berbulu hitam ala zorro, jadi semua hitam kecuali keempat kaki dan moncongnya. Yang satu lagi betina, campuran loreng dan putih, dengan hidung dan mulut pink. Saya curiga, jangan-jangan ini anaknya Machan III. Walaupun saya tidak terlalu kaget, karena selama ini Machan III sudah berkali-kali gonta-ganti istri dan punya anak. Tapi karena sekarang yang bersangkutan sudah tiada, terduga anak-anaknya membuat saya menaruh harapan.

Dua anak kucing itu galak dan takut manusia. Keadaan mereka kurus dan sayu kurang makan. Emaknya sudah lama pergi, kawin lagi barangkali. Dasar. Pertama kali diberi makan nasi campur ikan mereka malah muntah. Hiiy, jijay banget deh. Akhirnya saya beri susu. Mereka minum dengan lahapnya. Eh bukan mereka, tepatnya si betina kecil, sedang yang jantan terima ngalah. Saya curiga, melihat agresifnya, jangan-jangan si betina itulah anaknya Machan III. Maklum, sebagai kucing tunggal dia selalu tidak mau kalah, sifatnya juga agak angkuh, cuek, dan semau gue, bahkan pada saya!  Dua hari mereka minum susu dan makan ikan sepotong-sepotong di rumah. Di hari ketiga ibu saya menemukan si jantan zorro mati di dekat tempat sampah. Mungkin dia dihajar kecing jantan lain. Menurut bacaan di internet, kehadiran kucing jantan baru biarpun masih bayi, akan menjadi ancaman eksistensi kucing jantan senior.

Dengan kematian si zorro, saya memutuskan untuk mengangkat si betina kecil sebagai Machan IV. Pertama agak setengah hati karena dia betina, tapi setelah dua mingguan saya melihat dia tambah gemuk dan mentes-mentes (istilah ibu saya). Matanya ceria dan nakal. Polahnya malah agak hiperaktif. Menyenangkan sekali. Melipur lara deh pokoknya. Membuat saya bertekad untuk mengangkatnya. Plus, ada dua hal yang membuat saya tidak ragu-ragu lagi kalau dia memang titisannya Machan III. Pertama, cara dia makan gado-gadoan lauk yang selalu dibawa pergi dari piring nasinya ke atas keset dapur yang sama dengan bapaknya dulu. Kedua, kemanjaannya minta pangku Bapak saya di meja kerjanya. Persis bapaknya banget. Dan memang kalau saya perhatikan, wajahnya mirip wajah Machan III waktu masih kecil 4 tahun lalu.

Akhirnya resmilah saya punya Machan lagi, Machan IV. Baru Machan ini yang punya nama panggilan khusus, dan karena dia cewek, saya kasih nama Miyong. Asal-usulnya karena si bocah ini tadinya tidak merespon panggilan apapun kecuali tiruan bunyi induknya "mieyong-mieyong", begitu. Miyong, Machan the 4th. Trah Machan yang baru. Kali ini rumah saya diwariskan kepada kucing betina sang ratu.

Nah, blog ini dimulai dengan kisah hidup si Machan IV, Miyong.  Selamat menikmati :-)